Jumat, 19 September 2008

Fenomena Kampung Keling, Medan, Pasca Pergeseran Komunitas Asli



Wahyu Utamiii
A Sari AD, dan Yussy Liii
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara


Abstraksi
The purpose of this paper is describing the Kampung Keling in Medan that have contact with the embryo of the Medan city. When the Deli plantation ground as a big plantation, the deli Plantation needs a big people as worker and need a big area for the entire worker. One of the worker is an Indian community that known Tamil. In expansion after Medan as municipality, Kampung Keling grown a big community that until now they still have the characteristic of India community. They know “gopuram”, symbol of Indian community and they still know behaviour Indian community. Now, Keling community and local community have influence in their character.

Key Words: Kampung, community


Pernah dimuat dalam Jurnal RUAS FT Universitas Brawijaya, Malang, Volume II, Nomor 1, Juni 2004, ISSN 1693-3702


Pendahuluan
Kampung Keling sebagai kampung orang India sejak masa perkebunan Deli menjadi satu salah satu kampung kota di Medan dengan kharakter kuat yang mewakili komunitas Hindhu India. Saat ini, Kampung Keling masih menyisakan artefak-artefak yang ada sejak penguasaan perkebunan Deli oleh Belanda, antara lain pola ruang, bangunan rumah tinggal dan tempat ibadah. Satu hal lagi yang saat ini masih tersisa, yaitu budaya masyarakat keling yang dibawa dari India. Kampung Keling saat ini dalam skala urban sebagai satu komunitas yang mampu menghadirkan “collective memory” bagi masyarakat lokal maupun masyarakat luar Medan dan harus tetap dilestarikan tanpa menghilangkan identitas-identitas yang telah melekat pada komunitas tersebut, sehingga mampu berintegrasi dengan kemajuan kota yang ada.

Fenomena kampung Keling
Lukman (1970; 1996), menuliskan pada tahun 1863 Said Abdullah Bilsagih (Arab Surabaya) mengajak pedagang Belanda di Jawa (J Hienhuys, Van Der Falk dan Elliot) untuk menanam tembakau di Tanah Deli. Hasil tembakaunya yang bagus, sehingga secara berturut-turut di buka perkebunan Martubung, kebun Sunggal (1869), Sungai Beras dan Kelumpang (1875) dan dipakai kuli perkebunan orang Cina dari Penang, Tiongkok (Swatow) dan Singapura dan orang Tamil (Keling) didatangkan dari Penang dan dari Jawa (Bagelen) pada tahun 1880 seiring dengan ketatnya pengiriman kuli saat itu. Kuli-kuli tersebut pada saat baru datang membuka lahan sebagai kampung mereka secara berkelompok sesuai dengan asalnya di Labuhan Deli.
Seiring dengan perkembangan perkebunan menurut Lukman, (1996) Nienuys mendirikan kantor pusat perkebunan Deli Maatschappij di Kampung Medan dengan salah satu alasan karena letaknya di tengah-tengah pusat perkebunan. Pusat perkebunan yang baru dibangun membuat orang-orang yang ada di Labuhan baik dari orang perkebunan maupun kulinya berdatangan ke Kampung Medan dan Kesawan yang saat ini menjadi pusat kota Medan dan membuat kampung-kampung baru yang letaknya di dekat perkebunan, termasuk dalam hal ini masyarakat dari komunitas Keling yang dikenal sebagai kampung Keling. Kata Keling sendiri pada awalnya berasal dari kata “Klings” yang merupakan sebutan bagi orang India yang datang di Indonesia oleh orang Belanda.

Penggunaan ruang sebelum masuk pendatang
Awalnya Kampung Keling merupakan lahan liar yang tidak dihuni. Seiring dengan perkembangan perkebunan Deli, di Medan berturut-turut dibuka beberapa daerah perkebunan baru dan dengan sendirinya muncul perkampungan di sekitar perkebunan tersebut. Kampung Keling lebih berkembang setelah Belanda merasa puas akan pekerjaan para kuli dari Keling (Tamil-India) dengan dibangunnya Kuil Shri Maryaman sebagai tempat beribadah umat Hindhu. Ini merupakan kuil pertama yang ada di Medan. Selain itu ruang-ruang di kampung Keling tercipta karena hadiah dari Belanda kepada kuli yang menikah dengan diberinya sebidang tanah dan dijadikannya tempat tinggal. Hadiah sebidang tanah diberikan Belanda di sekitar kuil dan pada akhirnya daerah disekitar kuil menjadi kampung orang-orang Keling yang sekarang dikenal dengan kampung Keling.

Penggunaan ruang setelah masuk pendatang
Usai penjajahan Jepang, sebagian orang Keling kembali ke daerah asalnya dan menjual tanah mereka ke orang Keling dan juga ke orang-orang pribumi. Namun, di satu sisi, masih banyak orang-orang Keling yang tidak meninggalkan kampung dengan alasan perdagangan yang telah maju atau juga karena ikatan perkawinan. Dengan adanya penjualan tanah ke pihak luar orang Keling terjadinya pembauran di kampung keling yang akhirnya tidak sepenuhnya orang-orang keling yang mendiami kampung tersebut walaupun ini prosentasenya sangat sedikit.
Kampung Keling sampai saat ini masih eksist, terletak di Jalan Zainul Arifin dan Jalan Hindhu (Jalan Teuku Umar) yang merupakan kawasan pusat kota Kesawan dan mempunyai akses langsung kurang lebih 1 km dari pusat kota Kesawan. Sungai Babura (anak dari Sungai Deli) sebagai batas kampung Keling dengan kampung yang lain dan Kampung Keling sendiri masuk dalam Kelurahan Madras Hulu. Di daerah Kampung Keling terdapat jembatan Tjong Yong Hian yang menghubungkan Calcuta Straat (kini Zainul Arifin) dan Coen Straat (kini Jalan Gajah Mada) dibangun tahun 1917 yang menurut berbagai sumber merupakan bentuk perhatian Tjong A Fie (orang Cina) terhadap kebutuhan sarana prasarana di kota Medan. Jembatan ini dilengkapi dengan prasasti yang ditulis dalam tiga bahasa, yaitu Arab, Belanda dan Cina dengan panjangnya 50 meter, lebar 10 meter.
Di kawasan Kampung Keling terdapat Kuil Sri Mariamman (Sri Mariamman Temple) yang menurut Sandhu&Mani (1993), dibangun tahun 1884 merupakan tempat bersembayang orang Keling terbesar di Medan yang pada umumnya beragama Hindhu dan sampai saat ini sering melakukan ritual-ritualnya dan perayaaan. Terletak di simpang tiga Jalan Zainul Arifin dan Jalan Hindhu dikelilingi oleh tembok tinggi dengan di depan atau sebagai pintu utama terdapat gopuram kecil. Gopuram dalam Sandhu&Mani (1993), didefinisikan sebagai piramida tersusun yang dilengkapi dengan ukir-ukirannya yang memang menjadi satu ciri Kuil Hindhu Tamil (Keling). Bagian belakang kuil terdapat Sekolah Dharma Putra I yang baru tahun 1976 menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar yang sebelumnya bahasa Tamil.
Seperti halnya orang Cina, orang Keling mempunyai keunggulan dalam berdagang yang dipusatkan di Jalan Zainul Arifin dengan dagangan yang berbeda dengan orang Cina dan pribumi. Kawasan dagang Kampung Keling selain terletak di Jalan Zainul Arifin juga terletak di Jalan Muara Takus yang melayani masyarakat kampung dan pada hari-hari tertentu pada saat orang Keling dari luar Medan datang mereka menggunakan bahasa Tamil. Usaha pertama yang muncul adalah menjual barang kebutuhan sembayang umat Hindu. Mereka mendapatkannya dari Malaysia, Singapura dan India. Setelah berkembang kawasan perdaganganpun menjual berbagai hasil perkebunan dan tekstil yang dipesan dari India langsung. Seiring dengan perkembangan kota dan juga jiwa berdagang orang Keling, bangunan-bangunan yang terletak di ruas jalan digunakan sebagai rumah toko (ruko) sementara untuk rumah-rumah yang terletak di gang-gang kecil tetap mempertahankan fungsinya sebagai tempat tinggal.

Salah satu yang menjadi ciri rumah di Kampung Keling dengan adanya semacam ornamen simbol Hindhu-India (pigura) dengan ukuran kurang lebih dua puluh sampai tiga puluh sentimeter yang terletak di pintu masuk utama rumah dan selalu menghadap ke Timur. Terdapat bangunan kecil mirip dengan kuil-kuil kecil, yaitu gapuram yang diletakkan di dinding depan rumah. Selain itu sebagai pelengkap rumah orang Keling di kusen pintu dipasang daun mangga plastik yang dulunya sebenarnya daun yang dipakai adalah daun mangga dan diganti setiap hari Jum’at. Elemen-elemen yang ada di rumah orang Keling berfungsi untuk mengusir roh jahat.
Untuk sembayang di dalam rumah dilengkapi pigura-pigura dan tempat kecil untuk meletakkan sesuatu yang disembah. Terkecuali
untuk masyarakat India Tamil Islam sudah tidak meletakkan elemen-elemen di atas dan sebagai gantinya dengan menunjukkan identitas yaitu di depan pintu digantung tulisan Allah dan Muhammad dengan tulisan Arab.


Sosial budaya masyarakat kampung Keling
Masyarakat yang ada di Kampung Keling saat ini sudah mendapat pengaruh dari luar khususnya dalam hal ini adalah kehidupan mereka sehari-hari. Akan tetapi, masyarakat kampung Keling tidak sedikit telah mempengaruhi sosial budaya dalam kehiduapan sehari-hari masyarakat pribumi dan pendatang. Ini bisa dilihat antara lain:
  1. tepung tawar; pada mulanya orang india tamil mengenal acara tepung tawar ini sejak lama, dan digunakan tidak hanya untuk upacara perkawinan tetapi untuk melakukan ritual sembahyang. Tepung tawar ini dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk menolak bala. Acara tepung tawar ini lalu merebak dan menjadi tradisi orang pribumi juga dikarenakan kemungkinan besar adanya percampuran perkawinan antara orang pribumi dengan orang India, sehingga untuk masyarakat pribumi sendiri acara tepung tawar ini hanya merupakan habit/kebiasaan belaka yang dilakukan pada setiap acara perkawinan atau naik haji.

  2. Banyak anak banyak rejeki; ungkapan ini sebenarnya sudah lama dipakai masyarakat india tamil. Ungkapan tersebut ada pada tahun 1800-an pada waktu orang india masih menjadi buruh perkebunan yang bekerja pada pihak Belanda, maka setiap keluarga India yang melahirkan anak, akan diberi hadiah oleh Belanda berupa penambahan 10 kg beras setiap bulannya untuk satu anak yang lahir di setiap keluarga dan pemberian tunjangan hidup yang layak agar para anak india tersebut sehat, sehingga pada waktu sudah besar dapat dijadikan buruh lagi oleh Belanda. Oleh karena itu, ungkapan ‘Banyak anak banyak rezeki’ sangat cocok pada waktu itu untuk masyarakat india, sehingga sampai sekarang ungkapan tersebut masih digunakan oleh pribumi dan cina.

  3. Pakaian; dari segi pakaian ini mungkin banyak terdapat pencampuran antara budaya pribumi dengan india, dan orang india dengan pakaian khasnya, yaitu kain sari banyak juga di gunakan oleh orang pribumi sebagai bahan untuk menjahit pakaian, begitu juga dengan orang tamil sendiri, pakaian juga merupakan campuran kebudayaan yang sangat lekat diantara masyarakat pribumi dan India tamil.

  4. Rumah; di zaman dulu, rumah orang india mempunyai ciri khas tersendiri mengenai rumah, dengan adanya kuil kecil untuk sembahyang dan halaman yang lebar. Dengan perubahan zaman dan makin sempit serta mahalnya lahan, maka konsep rumah yang mempunyai halaman luas tidak dapat digunakan lagi di tengah kota kecuali mereka yang mempunyai tanah yang cukup untuk membuat halaman yang lebar. Orang India tamil sekarang ini banyak terpengaruh oleh rumah toko dikarenakan mempunyai dwi fungsi selain untuk berdagang juga digunakan sebagai tempat tinggal, sehingga dapat memanfaatkan ruang yang ada.

  5. Makanan; orang india tamil banyak mempengaruhi masyarakat pribumi pada makanan. Hali ini dapat dilihat dari beberapa makanan khas India yang di gunakan juga oleh pribumi. Salah satu contoh, makanan khas India adalah kari, roti cane, martabak serta kue-kue.
    Perilaku; pada zaman dulu orang tamil tidak boleh bercampur antara pria dan wanita dalam keadaan apapun kecuali suami istri. Sekarang untuk acara yang biasa sudah diperbolehkan untuk bertemu dengan lawan jenis. Kecuali pada acara-acara perkawinan dan kebudayaan yang masih sampai sekarang masih terdapatnya pemisahan tempat duduk antara pria dan wanita.

  6. Pemberian nama; zaman dulu orang india tamil memberi nama pada setiap anak mereka dengan nama-nama dewa. Hal ini dilakukan untuk menolong orang tuanya jikalau orang tuanya mau meninggal, maka ia dengan mudah dapat mengingat nama-nama dewa dengan hanya memanggil nama anak mereka. Tetapi sekarang pemberian nama tersebut sudah jarang digunakan.

Di kawasan kampung keling saat ini terjadi pembauran dan terdapat tiga golongan besar penduduk, yaitu pribumi, tionghoa dan india (tamil). Namun, tidak terjadi kesenjangan sosial diantara ketiga kelompok masyarakat tersebut, dan juga tidak ada pengelompokan-pengelompokan yang menjadi pemisah diantaranya. Seluruh masyarakat berbaur dan berkomunikasi membentuk komunitas. Agama yang berbeda juga tidak menjadi penghalang bagi masyarakat. Masing-masing dari mereka sangat menghormati kebebasan beragama.
Bagi masyarakat india tamil yang tinggal di lingkungan ini, walaupun telah berbaur dengan masyarakat pribumi dan Tionghoa, mereka tetap mempertahankan identitas dan eksistensi dari mereka. Hal ini terlihat jelas apabila kita masuk dan berjalan ke lingkungan in, maka kita akan mendengar musik-musik berbahasa india, sehingga nuansa India di daerah ini lumayan kental. Terlebih lagi apabila terdapat acara-acara besar, maka masyarakat india tamil ini akan mengadakannya secara besar-besaran.
Bagi mereka yang beragama hindu, setiap Jum’at sore mereka akan berkumpul di Kuil Shri Maryaman untuk melakukan sembahyang bersama. Kuil ini merupakan salah satu wadah bagi masyarakat tamil untuk saling berinteraksi dan berkumpul dengan sesama mereka yang tidak bermukim di daerah lingkungan kampung Keling.
Kesimpulan
Kampung Keling saat ini mulai tergeser dengan kehidupan kota Medan yang menuju Kota Metropolitan. Kehadiran masyarakat India di Indonesia umumnya dan kota Medan pada khususnya memiliki arti dan nilai tersendiri. Kekayaan budaya yang mereka miliki secara tidak langsung sudah memperkaya khasanah budaya Indonesia melalui proses pembauran. Budaya yang berkembang saat ini dipengaruhi oleh latar belakang asal komunitas yaitu India tamil yang sampai saat ini masih tetap dipergunakan walaupun sudah mengalami akulturasi.
Dari pembauran ini terjadi percampuran budaya dan perilaku yang saling mempengaruhi satu sama lain. Namun pembauran ini tidak berarti mereka yang sudah turun temurun tinggal dan menetap di Medan menghilangkan dan tidak mempertahankan adat istiadat dan budanyanya.
Kampung Keling sebagai kampung kota telah berperan dalam manghadirkan budaya India dengan tatanan kampung yang seperti layaknya kampung kota yang padat namun masih memberikan nilai histories latar belakang kampung yaitu dengan penggunaan symbol-simbol India tamil yang dipasang di depan rumah, juga penghargaan terhadap kuil yang kemudian direplika dengan adanya kuil-kuil kecil di tiap rumah dan tempat sembayang di dalam rumah. Penataan symbol yang mempunyai keteraturan merupakan salah satu warisan dalam penataan ruang dalam rumah.
Kampung Keling sebagai kampung kota tetap mampu menghadirkan kenangan masa lalu bagi masyarakat yang bisa dijadikan aset dalam pengembangan kawasan.

Daftar Pustaka
Lukman, T.S. 1970, “Sari dan Sedjarah Serdang”, Medan
Lukman, T.S. 1996, “Sejarah Medan Tempo Doeloe”, Medan
Sandhu dan Mani, 1993. “Indian Communities In Southest Asia” Times Academic Press, Singapura
i Paper ini merupakan hasil dari mata kuliah Pilihan Psikologi Lingkungan di PS Arsitektur USU
ii Wahyu Utami,ST,MT, Staf Pengajar Arsitektur USU Medan, Mata Kuliah Pilihan Psikologi Lingkungan
iii A Sari AD, dan Yussy L, Mahasiswa Mata Kuliah Pilihan Psikologi Lingkungan Program Studi Arsitektur USU Medan

Children Physical Traces in Open Space

Wahyu Utami
University of Sumatera Utara
Architecture Department
Jl Perpustakaan Gedung D Kampus USU Padang Bulan Medan 20155
Telp. 061-8211237
E-mail : wahyuutami_dn@yahoo.com

ABSTRACT
Children behavior is a significant aspect to design children open space in spite of this aspect often forgotten accidentally. Behavior is a significant aspect in architectural design process. Human-Environmental relation was closely and should to be consideration to produce optimum design that include functional and esthetic. All of that aim comfort for user and appropriate for activity and concern to children activity that refer to gestalt toward physic environment and human behavior. Children have an attractive attitude that they’re take a reaction immediately and children have a unique feature that doing activity agree with their demand.
A physical trace is a human behavior research method and the aim of this method is know path or traces that can take a guide to furthermore design or revision design. Physical traces can be use to analyze a built environment and to detect the environment employing was appropriate with the plan functional. In addition can know divergences by the user.
The research concern to user facilities in Ahmad Yani Park and the ways to use it. Observing physical traces looking at physical park and boundaries of the park that related to children activity in there. Include of this research is looking children come, walk in pedestrian or grass in the park, use the facilities, move from the one facility to the other facilities in the park, rest in the park and time of they left this park. This process starting from they come and finished at they go.


INTRODUCTION
Ahmad Yani Park in Medan constitutes one of the open spaces that on behalf of public. In this park contains playing children and recreation place. In this park there are four (4) zones that divide of 4 footsteps. The two of the zone as recreation place that contains of built seats that spread in this zone, park lamps, trees and circumference footstep. In this zone there’s not a children playing facilities. The two others zone on behalf of the children that contains bob up and down game, glide board game, swing game, iron turning game and place where they break or just sit there and say jokingly with friends (except children, this facilities use the adult that accompany their children).
In the center of this park there is an Ahmad Yani sculpture and circumference grass and footstep that have related to the each of the fourth zone and have related with the fourth gate in the park. One of the four gates is a main entrance that have related with recreation zone and big gate. In addition there are two-bicycle place. For the security there is a circumference fence with the fourth gate. Recent, in this park only three gate that use public because one of the gate always close that have related with the food stall in front of the Elizabeth Hospital.
Ahmad Yani Park location close by Harapan School and Play Group that there’s a lot of children play in there and the parents or nursemaid sit and wait their children at the same time. Children play at there on break school hour. Out of this time only a few children who come and play in this park. The children who come in this park is a children that live in surrounding this area and can take a moment minutes to attach this park by bicycle or just walk. Some times they come with their friend or with their adult.

PURPOSE
This research will describes and evaluates facilities and setting for children activity and demand for their playing comfort in Ahmad Yani Park, Medan. The purpose of this research to know and analyze the relation of traces condition, children activity and spontaneous divergences from children activity with the result that can guide the setting revision.
RESEARCH PROCEDURE
Research site visits were made only activity of the children that play in Ahmad Yani Park. Because the children occasionally have same activity (they’re come together with their friends or their family) so in this research only take 10 (ten) children activity from 30 until 50 as a early study that they play in this park on Sunday morning, Sunday afternoon and Saturday afternoon.
The research concern to user facilities in the park and the ways to use it. Observing physical traces looking at physical park and boundaries of the park that related to children activity in there. Include of this research is looking children come, walk in pedestrian or grass in the park, use the facilities, move from the one facility to the other facilities in the park, rest in the park and time of they left this park. This process starting from they come and finished at they go. All of the activities produce physical traces that make a new path or new setting in the park. The new path and the new setting can see from the children activity repeatedly. The new path and the new setting can guide that they’re a really comfort activity of the children. After concern all of the children activity, the furthermore step is classification of them and make the category of their activity. There are ten children activity that can describe children activity in there and produce physical traces. The furthermore step is make conclusion of the children activity from their physical traces in the Ahmad Yani Park.

ANALIZE

Influence Facilities Existence To Crowding Level
In the Ahmad Yani Park contains 4 zones that have different crowding facilities. The existence of the facilities can influence the children playing or not playing of there. In the recreation zone (Zone A and Zone B) that not existed the child game rarely use for children, except the time when the children passing by in there. The parents or the nursemaid rarely sit and wait there because this location so far from the school and playground. The children never play at this zone because no game and no place full. If the children want to break they also use the children zone (Zone C and Zone D). The children like to use the children zone that in this zone contains such game and its facilities. In playing time a lot of children use this zone to spend their time and if they want to break they can sit there and say jokingly with friends.
Zone C and zone D is different too, in zone C only one game in the each game type and in zone D there are two game in the game type like there are two glide board game group and two swing game. Because of this condition the quantity of the children who play there was different too. A lot of children like to playing in zone D because zone D more comfort than zone C from location and thermal (there’re a lot of big tree there).

The Categories From The Age Children and Children-Behavior-Setting Relation
Children behavior that playing at the Ahmad Yani Park has three categories from the age of the children. This category considers the behavior to the environment and their activity feature. Behavior like said by Rapoport1 as a significant aspect in design process and that is a dialectic interaction approach between human and environment that consider interaction process take an individual human in setting concept. Behavior approach concerns the human-environment relation that influence by human appreciation and cognition.


The Children Above Seven Years
In this category contains that they come in this park together with their friend. They have an attractive feature that can make a new comfort path but they’re still looking the regulation at there. There’s no gate for them because they rarely use the gate and like to jump the gate (this case specially for the son). So in some location there is some broken gate at there because of their behavior. Then they pass the footstep in there with slowly walking or running because they don’t like pass the broken ground. After they came, they choose the game that they feel comfort for them and they don’t like passing the footstep for this. They like to swing game and the iron turning game and take the path spontaneous. At the break time they like to sit and say jokingly with friends at the nearest area. There is some favorite place as grass, gate or under the tree. They never use the built seat because they feel no comfort and no strategy place. As Lang 2 said that the behavior setting is focused on coming to an understanding of the built environment as part of a nested set of behavior setting. If the layout of environment doesn’t afford the behavior pattern required by people to attain their goals. In addition the lay out of the environment also affect behavior in other ways. After the break time they will start to play again and no zone movement. If the time is over they’ll go and still no gate for it.


The Children Between Three Until Seven Years
The children between 3 until 7 not attractive but they have spontaneous feature that still consider with the regulation. They come to this park with their parents or their adult and passing the gate or never jump it. But some times their parents or their adult jump the gate too for the simple access. Then they play alone and choose the like game at the time their parents or their adult sits in the specially break place in Zone C or Zone D. At the time for Zone C playing, the parents or their adult sit at the zone C and at the zone D they move at there. They like nearest place with their children because they to be afraid to left them.
The children category like move from Zone C or Zone D and the other way. They move playing to the other zone if they want use the other game in spite of in the early zone they use too. They pass the footstep or the new path there that built the behavior. This attitudes to do them because they want to comfort pass and move to the other zone but not as long as if they must pass the really of footstep. If they only move to the other game in the same zone they pass the available path and play again. They don’t like to sit at grass or under to the tree but they like sit at the built seat at the break time. They feel their activity more comfort and no make dirty their clothes. If they feel tired they’ll go home and left the park with available gate.


The Children Under Three Years
At this category, there is dependence especially at this age they must care seriously. At this age they have no regulation and never think it. Some times they pass with there spontaneously feature and sometimes they contravene with there spontaneously too. They come to this park with their parents or their adult. A lot of the they pass the available gate and pas the available footstep in there. But if they will nearest the game location this category age jump or run with the simple access or take the short access without they conceder that their way no safety. They don’t have a regulation game without the guide of the parents. If they want to move to the other game they pass to the simple path of them that sometime they jump the small groove and they fall. So there is some break brick that as a boundaries this zone . And they like to change the game as soon as possible in spite they back again to the early game. At the break time they joint with their parents and rest for time and then they play again. At the time to go they pass the available footstep and available gate.

Physical Traces in The Park
Zeisel3 said that traces may have been unconsciously left behind or they may be conscious changes human have made in their environment. Researcher begin the physical traces research to inter how an environment got to be way, what decision designers about the built environment, how human actually use it, how they feel in there, how particular environment meets the demand of the user and from this research designer can take an idea of what the human are like who use that environment. In addition by Zeisel4 observing traces is an exceptionally useful research tool that can produce valuable insights at the beginning of a project, test hypotheses in the middle and be a source of ideas and new concepts throughout. Accumulative activity can make a new pattern that can be a guide the furthermore revision park. From the all of the children who playing at the park there are ten lane that they often use them.
There is some divergence to use the gate with to jump the gate
There is no children activity at this area because no game
The area that often children passing because the footstep to the game zone

Physical traces that produce the children activity can see from the path or the traces of there. Like a broken gate because the children like jump it and broke it to make a simple access, a broken grass in the ground because the children always pass there or the children like sit there, the broke or indentation ground because the children like use the game and broke it to their comfort, a broken tree because the children want to pass and broke to their simplest. And in the boundaries of the each game there are some traces that the game often used or rarely used. If we can see the broke grass in the boundaries of the game is show that the game often used. And there is some new path to access the other game or the other zone.


RESULT OF THE RESEARCH
This research takes the activity children that can’t handle the designer at early design program. If the designer makes the park and this park especially to children and their parent or their adult designer must consider the demand children actually. This aspect must to do the designer because from the activity the children can feel comfort or not and feel safety or not to their parents.
The existence of the facilities can influence the children playing or not playing of there. The children often want to spread game in the each zone because they see that the zone without the game never use some body (children and adolescent) so it’s better if the each of the zone contains of children game. Game not only a active object, but can passive object like as sculpture of the animal or just place with a group seat that can be used together.
All of this can be revive bring to life the entire available zone and all of that aim comfort for user and appropriate for activity and concern to children activity that refer to gestalt toward physic environment and human behavior
The use of formal footstep often fail in this park because children like a released regulation that they feel they fell more comfort and satisfied. The ungainly just produce divergence. If the formal footstep still use in children designs so there will some new path or some footstep finally. There no need that the footstep must circumstance the zone because the children don’t like this. The children like the simplest footstep that between the one zone and the other zone has a short distance. And between the games in the same zone must make a footstep to avoid the divergence to make the other footstep. The footstep make seriously to avoid the divergence.
The built seats not a formal pattern but they must spread location and make an informal pattern to access the nearest game or the other object. The aim of this spread and make informal pattern to make comfort and the parents not afraid to leave their children play alone.

RECOMMENDATION
In the research there are some recommendation that must consider to the designer of the children built environment. In early design must know what the demand of the user built environment to produce the optimal product, children have a attractive feature so the designer must consider this to avoid the divergence that should make a broken element of the built environment finally because of their spontaneous. The designer should consider that the design is not the end of the product but the design is a process and can change because the activity at there.


REFERENCES
Lang,John 1987, Creating Architectural Theory, The Role of The Behavioral Sciences in Environmental Design, Van Nostrand Reinhold Company, New York, page 110
Rapoport, Amos, 1977, Human Aspect of Urban Form, Oxford, Pergamon
Zeise, John , 1980, Inquiry by Design: Tools for Environment-Behavior Research, Brook/Cole Publishing Company, California, page 89
1 Amos Rapoport
2 John Lang, 1987, Creating Architectural Theory, The Role of The Behavioral Sciences in Environmental Design, Van Nostrand Reinhold Company, New York, page 110
3 John Zeisel, 1980, Inquiry by Design: Tools for Environment-Behavior Research, Brook/Cole Publishing Company, California, page 89
4 ibid

“Kajian Stimulus Collective Memory Terhadap Bangunan-Bangunan Kolonial di Sekitar Lapangan Merdeka”








Wahyu Utami,ST,MT
Staff Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur USU Medan
(Tulisan ini merupakan hasil penelitian tahun 2002 dengan Dana DP3M merupakan Penelitian Dosen Muda/BBI)


Latar Belakang
Ungkapan “Place without old building is like a person without a memory” sangat relevan untuk mengungkapkan betapa pentingnya makna sejarah pada bangunan di suatu tempat, terlebih bangunan itu selain mempunyai sejarah juga mempunyai locus, makna ataupun nilai yang tinggi.
Kawasan lapangan merdeka merupakan bagian awal terbentuknya kota Medan yang diawali sebagai daerah perkebunan Tembakau Deli. Bangunan-bangunan yang ada sampai saat ini merupakan cerita masa lalu yang bisa diangkat kembali untuk dijadikan identitas kawasan yang diambil dari awal kota Medan sebagai kota perkebunan dan kota Medan sebagai kota kolonial dalam perkembangnnya. Beberapa bangunan sampai saat ini masih terlihat kontinuitasnya dan persistensinya misalnya Gedung London Sumatera, Kantor Pos, Stasiun Kereta Api dan beberapa bangunan yang mempunyai histori yang kuat yang ikut membentuk Lapangan Merdeka sebagai kawasan kolonial saat itu. Keberadaan bangunan yang berada di sekitar Lapangan Merdeka dipertegas dengan beberapa lorong yang ada di sekitar Lapangan Merdeka dengan kekentalan style kolonialnya.
Kontinuitas bangunan yang ada di Lapangan Merdeka dilihat dari segi fungsi pada beberapa bangunan yang masih bertahan dengan fungsi aslinya yang paling tidak mempunyai dimensi waktu yaitu masa perkebunan, masa kolonial dan masa sekarang dan diharapkan mampu mempertahankan kemenerusannya di masa mendatang. Bangunan-bangunan yang ada sebagai artefak di Lapangan Merdeka membentuk suatu kawasan yang diharapkan mampu memunculkan kenangan masa lalu sejarah Medan yang kuat dan tegas. Selain dari segi fungsi kontinuitas atau yang lebih spesifik dengan istilah kontinuitas bentuk dilihat dengan mempertimbangan keberadaan bangunan yang mampu bertahan walaupun fungsinya sudah berubah. Seperti dikatakan Utami, 2001 bahwa bangunan bisa dikatakan sebagai elemen dominan (primer) jika bangunan tersebut mampu mepertahankan locus, fungsi dan bentuk bangunan sesuai yang asli, mampu bertahan dari segi bentuk, mempunyai nilai locus yang sangat tinggi sehingga mempengaruhi keberadaan elemen kota yang lain ataupun peranan bangunan sebagai elemen kota mampu menjadi pemacu dalam perkembangan elemen berikutnya walaupun bangunan atau elemen ini merupakan sesuatu yang baru.

Tujuan Penelitian
Tujuan khusus dalam penelitian ini mengkaji bangunan kolonial yang ada di sekitar Lapangan Merdeka agar memberikan collective memory yang dapat dijadikan elemen dominan dan arahan dalam perkembangan kawasan dan perkembangan kota Medan.

Lokus dan Fokus Amatan
Penelitian mengambil lokus amatan di Pusat Kota Medan, tepatnya di Lapangan Merdeka dan sekitarnya dengan diperjelas beberapa lorong di sekitar Lapangan Merdeka Sedangkan focus amatan yaitu pada fasade bangunan yang dijadikan amatan dan tidak melihat bangunan dari dua dimensinya dari atas.

Metode Penelitian
Penelitian dengan melihat obyek penelitian sebagai daerah amatan dan melihat bangunan sebagai focus amatan secara langsung. Dalam hal ini bangunan-bangunan di Lapangan Merdeka dijadikan obyek penelitian yang dieksplorasi secara keseluruhan berupa identifikasi elemen bangunan. Ini sangat berhubungan dengan melihat stimulus yang terjadi di tiap-tiap bangunan. Penelitian collective memory melihat bangunan dalam dua dimensi sebagai gambaran awal dan tiga dimensi sebagai eksplorasinya yang difokuskan pada fasade bangunan dan elemen bangunan.


Hasil Temuan dan Kajian Collective Memory

Melihat kondisi yang ada bisa dikatakan dari sejumlah elemen fisik yang ada di Lapangan Merdeka atau dari 19 jenis pengelompokan bangunan ada 12 elemen fisik yang bertahan dari fungsi atau bentuknya. Ini memperlihatkan kesan collective memory masih sangat kental dan sangat penting dilakukan untuk dijadikan pertimbangan dan juga arahan dalam pertimbangan perencanaan Lapangan Merdeka selanjutnya.

Kantor Pos
Terletak di jalan Balai Kota dengan arsitek bernama SNUYF yang dibangun tahun 1909 mengunakan style kolonial Belanda dengan tower segi enam di atasnya.
Tower berbentuk segi enam dengan bukaan kecil sebagai ornamen dan penyesuaian terhadap iklim local. Atap ada dua jenis yaitu atap local segi enam yang dipadu dengan tower dan dilengkapi dormer dan atap gevel pada atap yang menghadap ke sisi lain.
Bukaan persegi panjang dengan memanjang ke atas ini dimaksudkan agar udara dan sinar yang masuk ke dalam bangunan tidak terlalu besar serta bukaan yang diberi lengkungan di bagian atas. Di tiap bukaan selalu dilengkapi dengan kisi-kisi.
Bangunan Kantor Pos Medan dengan kontinuitas fungsi dan bentuk, persistensinya tidak mutlak karena pernah dilakukan renovasi kecil walaupun tidak mengganggu fasade aslinya. Detil menggunakan elemen kolonial yang tetap menggunakan elemen local walaupun tidak elemen tradisional Sumatera khususnya Melayu atau Batak. Penggunaan elemen local bersifat generalisasi Indonesia.

London Sumatera
Awalnya gedung “julianagebouw” yang diambil alih oleh perusahaan Inggris “Harrisons & Crossfield”Ltd dan sekarang diambil alih menjadi PT Perusahaan Perkebunan Lonon Sumatera Indonesia. Dipengaruhi oleh style kolonial Inggris dan berbentuk segi tiga. Bangunan ini merupakan bangunan pertam di Sumatera yang menggunakan lift.
London Sumatera salah satu landmark di pusat kota dengan karakter yang berbeda dengan bangunan disekitarnya walaupun dari segi bentukan sama dengan bangunan lain. Gedung ini mempunyai skala yang sangat besar dengan bentuk segi tiga yang diletakkan di simpang jalan. Entranse menghadap ke simpang jalan.
Bukaan-bukaan yang ada menunjukkan bentukan kolonial dengan penyempitan di arah samping dan pelebaran ke arah atas dengan tujuan pengurangan intensitas matahari dan angin yang datang ke arah bangunan tersebut.
Jenis atap yang digunakan merupakan penggabungan atap dag dan penggunaan gevel di entrance utamanya. Berbeda dengan bangunan yang lain gedung ini menggunakan bukaan di setiap lantai dengan irama tetap. Ini menjadi cirri khas tersendiri bagi gedung yang sekarang ada perubahan fungsi yang tidak terlalu significant.

Bank Mandiri
Bangunan Bank Mandiri di sekitar Lapangan Merdeka ada tiga tempat, namun yang mengunakan bangunan lama tanpa melakukan perubahan bentuk secara significant yang terletak di Jalan Balai Kota.
Style dengan penggunaan elemen atau detil bangunan keseluruhan menggunakan bentukan kolonial termasuk dalam hal ini bentuk bukaan yang tinggi serta menyempit ke samping. Berbeda dengan bukaan pada bangunan lain di bangunan ini mempunyai satu bukaan di tiap ketinggian lantai.
Elemen kolom cukup menonjol dengan bentukan kolonial yaitu penggunaan kolom yang mencerminkan kekuasaan kolonial saat itu. Ini seperti bangunan kolonial yang berfungsi penting di Jawa misalnya kantor residen atau gedung-gedung pertemuan. Ini menunjukkan bangunan ini sepenuhnya melayani masyarakat kolonial saat itu.
Penggunaana atap daag merupakan pencerminan bentukan kolonial dari style Eropa dan dipadu dengan penggunaan gevel di bagian samping. Gevel digunakan pada bagian samping bangunan karena posisi gedung ini yang strategis terletak di simpang jalan atau dipertigaan jalan yang menghubungkan jalan Balai Kota dan lorong ke dalam.

Balai Kota
Kantor Balai Kota terletak di Jalan Balai Kota dibangun tahun 1908 dan dimodernisir tahun 1923 dengan desainnya oleh Biro Arsitek Hulswit. Bangunan ini masih tetap fungsinya sampai saat ini hanya perubahan nama yang dahulu bernama Gemeentehuis.
Walaikota saat pemerintahan Belanda merupakan salah satu unsur pemerintahan kolonial dibawah Karesidenan. Sehingga penggunaannya lebih ke masyarakat Belanda dan yang mendukung keberadaannya. Ini akan mempengaruhi jenis ataupun bentukan bangunannya seprti yang banyak terjadi kota-kota kolonial lainnya di Indonesia.
Elemen bangunan pada gedung Balai Kota menggunakan style kolonial dengan penggunaan tower di atap puncaknya yang dilengkapi dengan ormanen-ornamen kolonialnya. Penggunaan dormer pada atap tower semakin memperkuat bentukan kolonial eropanya. Sementara bukaan menggunakan bentukan kolonial yang disesuaikan dengan alam local yaitu dengan adanya level di tiap bukaaan. Ini dimaksudkan agar sinar matahari atau jika terjadi hujan tidak menganggu pengguna bangunan. Di bukaan bangunan banyak menggunakan ornamen kolonial eropa.
Jam besar yang ada di bangunan ini dibangun tahun 1913 peembahan milioner Cina Tjong A Fie yang saat itu dapat mengeluarkan bunyi carillon.

Bank Indonesia
Bank Indonesia awalnya adalah Javasche Bank yang dibangun tahun 1910 oleh biro arsitek Hulswit/Fermont & Ed.Cuypers
Gedung ini dominan memgunakan bentukan kolonial hanya detilnya agak berbeda dengan bangunan lainnya yang ada disekitarnya. Bukaan selain tinggi juga dimensinya cukup besar untuk ukuran local. Elemen bangunan dibangian depan berupa bukaan ini lebih mencerminkan kekuasaan yang ada dan ini salah satu cirri bangunan kolonial murni tanpa campuran unsure local. Penggunaan atap gevel hanya dibagian depan yang berjumlah satu sementara sebagian besar atapnya adalah daag. Sementara untuk bukaan disamping menggunakan bukaan yang relatif sama dengan bangunan lain yaitu tinggi dan sempit. Pada bukaan tidak diselesaiakan dengan penggunakan elemen local Indonesia seperti dibangunan lainnya dengan menggunakan tritisan ataupun level. Pada bangunan ini bukaannya polos berbentuk persegi empat.
Elemen-elemen bangunan lainnya yang merupakan cirri bangunan kolonial adalah penguatan pada lekukan-lekukan tembok atau dinding dan juga pengguaan pintu melengkung dengan karakter yang sangat kuat.

Hotel Dharma Deli
Menurut Lukman Sinar, 1996, Hotel Dharma Deli yang terletak di Jalan Bali Kota awalnya adalah Hotel De Boer dengan pemiliknya bernama Aeint Herman De Boer. Seperti bangunan hotel kolonial yang ada di Indonesia, Hotel Dharma Deli mempunyai elemen bangunan berupa bukaan yang sangat banyak dan mengadopsi bentukan kolonial murni tanpa adanya penyesuaian dengan elemen local.

Stasiun Kereta Api
Dibangun tahun 1885 sebagai sarana transportasi penumpang maupun barang.
Bentukan Kereta api tidak terlalu berbeda dengan kota-kota lain yaitu memanjang dan elemen bukaannya sangat banyak. Hal ini terkait dengan fungsi stasiun yang banyak menampung penunpang dan mengadopsi bentuk kereta api yang memanjang. Elemen yang berbeda dengan stasiun yang lain adanya penonjolan di bagian depan gedung berupa bukaan yang cukup besar dan dilengkapi dengan kaca sehingga pengguna bisa melihat ke bahwah ataupun keluar dan juga adanya elemen jam.

Gedung Asuransi Jasindo
Gedung Asuransi Jasindo menggunakan bangunan lama yang tidak terlalu dominan bentukan kolonial. Bentukan ini cenderungan bentukan bangunan indis yang merupakan bangunan kolonial yang telah banyak mengalami penyesuaian dengan elemen local. Ini biasanya untuk bangunan-bangunan yang memang fungsinya lebih vcenderung ke masyarakat local atau pribumi atau untuk negara lain.
Bangunan ini banyak mendapat pengaruh local khususnya arsitektur tropis. Ini terlihat pada penggunaan atap local walaupun untuk menunjukkan kekuasaan pemerintah kolonial saat itu diberikan gevel dibagian depannya. Ini biasa digunakan oleh pemerintah kolonial untuk mengambil hati masyarakat pribumi dengan penyediaan fasilitas. Bukaan-bukaan juga cenderung menggunakan bentukan local yang dilengkapi krepyak dibagian atas pintu dan jendela. Kemudian di bagian depan atas terdapat tujuh bukaan kecil yang dilengkapi dengan kaca tembus cahaya. Kolom yang digunakan dibangunan ini tidak terlalukuat karakternya hanya penambahan dimensi keluar dari dimensi temboknya sehingga tidak terlalu kentara.
Elemen kolonial hanya pada penggunaan gevel dan karakter penonjolan dinding yang kuat sebagai salah satu cirri bangunan kolonial. Penggunaan ornamen di bagian atap merupakan pemberian elemen kolonial ke dalam bangunan yang ditujukan bentukan local.

Bangunan-Bangunan Baru
Di sekitar Lapangan Merdeka mulai dimasuki bangunan-bangunan baru yang dikhawatirkan agar merusak kekuatan Lapangan Merdeka sebagai historic urban centric dalam memberikan gambaran masa lalu. Ini terlihat dengan munculnya bangunan-bangunan baru yang ada di sekitar bangunan bernilai sejarah yang tinggi. Bangunan Bank Central Asia (BCA) perwakilan, Kantor ACA, Deretan Perkantoran kecil yang antara lain gedung ET45 serta Gedung Bank Niaga yang terletak di seberang Utara Lapangan Merdeka satu deretan dengan Kantor Pos yang sangat kental nilai historisnya.
Di sebelah Selatan Lapangan Merdeka mengalami pergantian bangunan jenis baru yang sama sekali tidak menggunakan elemen dominan bangunan di kawasan ini yaitu perpaduan elemen kolonial dan local. Sementara bangunan di sebelah Timur dan Barat masih menunjukkan kontinuitas baik dari segi fungsi dan beberapa dari bentuk. Dalam waktu beberapa bulan ini di Lapangan Merdekanya sendiri mengalami beberapa perubahan yang sangat menggu keberadaan Lapangan Merdeka sebagai lokus bersejarh dengan penambahan elemen baru, yaitu adanya panggung dengan bentuk Melayu dan kumpulan kios buku pindahan dari titi gantung. Hal ini sangat merusak kesan yang ada.

Penguatan Collective Memory Bangunan di Sekitar Lapangan Merdeka
Seperti dijelaskan di bagian depan dalam rangka mengkaji stimulus collective memory perlu adanya penguatan dari beberapa segi dalam hal ini adanya dua lorong jalan di sekitar Lapangan Merdeka yang mempunyai keterkaitan dengan aktivitas Kawasan Lapangan Merdeka masa kolonial, yaitu Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani.
Kedua jalan ini masih mempunyai kesan yang sangat kuat terhadap masa lalunya yaitu pemerintahan kolonial Belanda dengan mendapat perpaduan bentuk local dan Cina. Bentukan atap yang menggunakan dormer, gevel dan juga pada jalan pemuda di sudut simpang menggunakan tower segi enem yang sangat menarik.
Bukaan-bukaan jendela yang ada menggunakan bentukan kolonial yang sudah dipadu dengan bentukan local dan disesuaikan dengan iklim tropis. bentuk kolonial dengan bukaan yang tinggi dan menyempit menjadi cirri khas bangunan-bangunan yang ada di kedua jalan tersebut.
Pada dua lorong jalan ini sebagian besar bangunan-bangunan yang ada masih mempertahankan bentuk aslinya. Perubahan terjadi hanya pada fungsi bangunan karena sudah tidak relevan lagi dengan masa sekarang. Di jalan Pemuda beberapa bangunan tidak digunakan dan dibiarkan kosong dalam waktu cukup lama.
Di jalan Ahmad Yani bangunan-bangunan mendapatkan perpaduan bentukan dari Cina karena pada masa lalu jalan Pemuda dikuasai milioner Cina yang bernama Tjong A Fie yang salah satu rumahnya masih berdiri megah di jalan Pemuda.


Elemen-Elemen Dominan sebagai Penguatan Collective Memory di Lapangan Merdeka, Medan sebagai Arahan Pengembangan Kota

Sejarah sangat bermanfaat bagi masa yang akan datang berhubungan dengan identitas lokasi tersebut yang dapat bermanfaat sebagai salah satu arahan dalam perencanaan dan perancangan elemen berikutnya. Seperti dikatakan Utami, 2001, elemen dominan dalam hal ini bangunan dan lokasi yang mempunyai tingkat kontinuitas yang tinggi dapat dijadikan salah satu kaca mata dalam melihat perkembangan suatu kota dan untuk perencanaan ke depan. Ini dilakukan agar untuk lokasi-lokasi di dalam kota yang mempunyai karakter khusus bisa dimanfaatkan tanpa harus meninggalkan kebutuhan masa depan. Jika dalam pelaksanaan ternyata membuthkan adanya suatu pembongkaran akrena sudah tidak layak dalam arti bangunan atau elemen fisik ini lebih bersifat patologis, agar bisa mengambil arahan pemakaian elemen bangunan yang sudah ada di dalam kawasan tersebut.
Demikian juga dengan bangunan-bangunan yang ada di Lapangan Merdeka, perlu adanya satu perhatian tersendiri agar nilai historiesnya tidak hilang termakan oleh bangunan-bangunan baru yang tidak memperhatikan elemen-elemen dominannya. Misalnya terjadi pembongkaran karena alsana yang sangat tepat (misalnya bangunan rusak atau akan runtuh) perlu dipertimbangkan pendirian bangunan berikutnya mengikuti pola arahan atau bahkan dijadikan replica bangunan yang hancur dengan fungsi yang berbeda dan maintenance yang lebih bisa diterima masyarakat sekarang. Hal di atas perlu dilakukan agar nilai-nilai historisnya tidak hilang dan kesan collective memory tetap ada.
Adapun elemen-elemen dominan yang bisa dijadikan arahan antara lain bentukan atap dengan penggunaan dolmer, gevel ataupun tower yang bisa disesuaikan dengan kondisi arsitektur saat ini dan masa mendatang. Selain itu karakter yang ada harus mencerminkan kekuatan suatu pemerintahan.
Bukaan-bukaan dengan bentuk kolonial yang dipadu elemen local juga sebagai salah satu kesan kuat pada bangunan kolonial di kota Lapangan Merdeka dan juga generalisasibentukan elemen kolonial di Indonesia.