Jumat, 19 September 2008

Fenomena Kampung Keling, Medan, Pasca Pergeseran Komunitas Asli



Wahyu Utamiii
A Sari AD, dan Yussy Liii
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara


Abstraksi
The purpose of this paper is describing the Kampung Keling in Medan that have contact with the embryo of the Medan city. When the Deli plantation ground as a big plantation, the deli Plantation needs a big people as worker and need a big area for the entire worker. One of the worker is an Indian community that known Tamil. In expansion after Medan as municipality, Kampung Keling grown a big community that until now they still have the characteristic of India community. They know “gopuram”, symbol of Indian community and they still know behaviour Indian community. Now, Keling community and local community have influence in their character.

Key Words: Kampung, community


Pernah dimuat dalam Jurnal RUAS FT Universitas Brawijaya, Malang, Volume II, Nomor 1, Juni 2004, ISSN 1693-3702


Pendahuluan
Kampung Keling sebagai kampung orang India sejak masa perkebunan Deli menjadi satu salah satu kampung kota di Medan dengan kharakter kuat yang mewakili komunitas Hindhu India. Saat ini, Kampung Keling masih menyisakan artefak-artefak yang ada sejak penguasaan perkebunan Deli oleh Belanda, antara lain pola ruang, bangunan rumah tinggal dan tempat ibadah. Satu hal lagi yang saat ini masih tersisa, yaitu budaya masyarakat keling yang dibawa dari India. Kampung Keling saat ini dalam skala urban sebagai satu komunitas yang mampu menghadirkan “collective memory” bagi masyarakat lokal maupun masyarakat luar Medan dan harus tetap dilestarikan tanpa menghilangkan identitas-identitas yang telah melekat pada komunitas tersebut, sehingga mampu berintegrasi dengan kemajuan kota yang ada.

Fenomena kampung Keling
Lukman (1970; 1996), menuliskan pada tahun 1863 Said Abdullah Bilsagih (Arab Surabaya) mengajak pedagang Belanda di Jawa (J Hienhuys, Van Der Falk dan Elliot) untuk menanam tembakau di Tanah Deli. Hasil tembakaunya yang bagus, sehingga secara berturut-turut di buka perkebunan Martubung, kebun Sunggal (1869), Sungai Beras dan Kelumpang (1875) dan dipakai kuli perkebunan orang Cina dari Penang, Tiongkok (Swatow) dan Singapura dan orang Tamil (Keling) didatangkan dari Penang dan dari Jawa (Bagelen) pada tahun 1880 seiring dengan ketatnya pengiriman kuli saat itu. Kuli-kuli tersebut pada saat baru datang membuka lahan sebagai kampung mereka secara berkelompok sesuai dengan asalnya di Labuhan Deli.
Seiring dengan perkembangan perkebunan menurut Lukman, (1996) Nienuys mendirikan kantor pusat perkebunan Deli Maatschappij di Kampung Medan dengan salah satu alasan karena letaknya di tengah-tengah pusat perkebunan. Pusat perkebunan yang baru dibangun membuat orang-orang yang ada di Labuhan baik dari orang perkebunan maupun kulinya berdatangan ke Kampung Medan dan Kesawan yang saat ini menjadi pusat kota Medan dan membuat kampung-kampung baru yang letaknya di dekat perkebunan, termasuk dalam hal ini masyarakat dari komunitas Keling yang dikenal sebagai kampung Keling. Kata Keling sendiri pada awalnya berasal dari kata “Klings” yang merupakan sebutan bagi orang India yang datang di Indonesia oleh orang Belanda.

Penggunaan ruang sebelum masuk pendatang
Awalnya Kampung Keling merupakan lahan liar yang tidak dihuni. Seiring dengan perkembangan perkebunan Deli, di Medan berturut-turut dibuka beberapa daerah perkebunan baru dan dengan sendirinya muncul perkampungan di sekitar perkebunan tersebut. Kampung Keling lebih berkembang setelah Belanda merasa puas akan pekerjaan para kuli dari Keling (Tamil-India) dengan dibangunnya Kuil Shri Maryaman sebagai tempat beribadah umat Hindhu. Ini merupakan kuil pertama yang ada di Medan. Selain itu ruang-ruang di kampung Keling tercipta karena hadiah dari Belanda kepada kuli yang menikah dengan diberinya sebidang tanah dan dijadikannya tempat tinggal. Hadiah sebidang tanah diberikan Belanda di sekitar kuil dan pada akhirnya daerah disekitar kuil menjadi kampung orang-orang Keling yang sekarang dikenal dengan kampung Keling.

Penggunaan ruang setelah masuk pendatang
Usai penjajahan Jepang, sebagian orang Keling kembali ke daerah asalnya dan menjual tanah mereka ke orang Keling dan juga ke orang-orang pribumi. Namun, di satu sisi, masih banyak orang-orang Keling yang tidak meninggalkan kampung dengan alasan perdagangan yang telah maju atau juga karena ikatan perkawinan. Dengan adanya penjualan tanah ke pihak luar orang Keling terjadinya pembauran di kampung keling yang akhirnya tidak sepenuhnya orang-orang keling yang mendiami kampung tersebut walaupun ini prosentasenya sangat sedikit.
Kampung Keling sampai saat ini masih eksist, terletak di Jalan Zainul Arifin dan Jalan Hindhu (Jalan Teuku Umar) yang merupakan kawasan pusat kota Kesawan dan mempunyai akses langsung kurang lebih 1 km dari pusat kota Kesawan. Sungai Babura (anak dari Sungai Deli) sebagai batas kampung Keling dengan kampung yang lain dan Kampung Keling sendiri masuk dalam Kelurahan Madras Hulu. Di daerah Kampung Keling terdapat jembatan Tjong Yong Hian yang menghubungkan Calcuta Straat (kini Zainul Arifin) dan Coen Straat (kini Jalan Gajah Mada) dibangun tahun 1917 yang menurut berbagai sumber merupakan bentuk perhatian Tjong A Fie (orang Cina) terhadap kebutuhan sarana prasarana di kota Medan. Jembatan ini dilengkapi dengan prasasti yang ditulis dalam tiga bahasa, yaitu Arab, Belanda dan Cina dengan panjangnya 50 meter, lebar 10 meter.
Di kawasan Kampung Keling terdapat Kuil Sri Mariamman (Sri Mariamman Temple) yang menurut Sandhu&Mani (1993), dibangun tahun 1884 merupakan tempat bersembayang orang Keling terbesar di Medan yang pada umumnya beragama Hindhu dan sampai saat ini sering melakukan ritual-ritualnya dan perayaaan. Terletak di simpang tiga Jalan Zainul Arifin dan Jalan Hindhu dikelilingi oleh tembok tinggi dengan di depan atau sebagai pintu utama terdapat gopuram kecil. Gopuram dalam Sandhu&Mani (1993), didefinisikan sebagai piramida tersusun yang dilengkapi dengan ukir-ukirannya yang memang menjadi satu ciri Kuil Hindhu Tamil (Keling). Bagian belakang kuil terdapat Sekolah Dharma Putra I yang baru tahun 1976 menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar yang sebelumnya bahasa Tamil.
Seperti halnya orang Cina, orang Keling mempunyai keunggulan dalam berdagang yang dipusatkan di Jalan Zainul Arifin dengan dagangan yang berbeda dengan orang Cina dan pribumi. Kawasan dagang Kampung Keling selain terletak di Jalan Zainul Arifin juga terletak di Jalan Muara Takus yang melayani masyarakat kampung dan pada hari-hari tertentu pada saat orang Keling dari luar Medan datang mereka menggunakan bahasa Tamil. Usaha pertama yang muncul adalah menjual barang kebutuhan sembayang umat Hindu. Mereka mendapatkannya dari Malaysia, Singapura dan India. Setelah berkembang kawasan perdaganganpun menjual berbagai hasil perkebunan dan tekstil yang dipesan dari India langsung. Seiring dengan perkembangan kota dan juga jiwa berdagang orang Keling, bangunan-bangunan yang terletak di ruas jalan digunakan sebagai rumah toko (ruko) sementara untuk rumah-rumah yang terletak di gang-gang kecil tetap mempertahankan fungsinya sebagai tempat tinggal.

Salah satu yang menjadi ciri rumah di Kampung Keling dengan adanya semacam ornamen simbol Hindhu-India (pigura) dengan ukuran kurang lebih dua puluh sampai tiga puluh sentimeter yang terletak di pintu masuk utama rumah dan selalu menghadap ke Timur. Terdapat bangunan kecil mirip dengan kuil-kuil kecil, yaitu gapuram yang diletakkan di dinding depan rumah. Selain itu sebagai pelengkap rumah orang Keling di kusen pintu dipasang daun mangga plastik yang dulunya sebenarnya daun yang dipakai adalah daun mangga dan diganti setiap hari Jum’at. Elemen-elemen yang ada di rumah orang Keling berfungsi untuk mengusir roh jahat.
Untuk sembayang di dalam rumah dilengkapi pigura-pigura dan tempat kecil untuk meletakkan sesuatu yang disembah. Terkecuali
untuk masyarakat India Tamil Islam sudah tidak meletakkan elemen-elemen di atas dan sebagai gantinya dengan menunjukkan identitas yaitu di depan pintu digantung tulisan Allah dan Muhammad dengan tulisan Arab.


Sosial budaya masyarakat kampung Keling
Masyarakat yang ada di Kampung Keling saat ini sudah mendapat pengaruh dari luar khususnya dalam hal ini adalah kehidupan mereka sehari-hari. Akan tetapi, masyarakat kampung Keling tidak sedikit telah mempengaruhi sosial budaya dalam kehiduapan sehari-hari masyarakat pribumi dan pendatang. Ini bisa dilihat antara lain:
  1. tepung tawar; pada mulanya orang india tamil mengenal acara tepung tawar ini sejak lama, dan digunakan tidak hanya untuk upacara perkawinan tetapi untuk melakukan ritual sembahyang. Tepung tawar ini dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk menolak bala. Acara tepung tawar ini lalu merebak dan menjadi tradisi orang pribumi juga dikarenakan kemungkinan besar adanya percampuran perkawinan antara orang pribumi dengan orang India, sehingga untuk masyarakat pribumi sendiri acara tepung tawar ini hanya merupakan habit/kebiasaan belaka yang dilakukan pada setiap acara perkawinan atau naik haji.

  2. Banyak anak banyak rejeki; ungkapan ini sebenarnya sudah lama dipakai masyarakat india tamil. Ungkapan tersebut ada pada tahun 1800-an pada waktu orang india masih menjadi buruh perkebunan yang bekerja pada pihak Belanda, maka setiap keluarga India yang melahirkan anak, akan diberi hadiah oleh Belanda berupa penambahan 10 kg beras setiap bulannya untuk satu anak yang lahir di setiap keluarga dan pemberian tunjangan hidup yang layak agar para anak india tersebut sehat, sehingga pada waktu sudah besar dapat dijadikan buruh lagi oleh Belanda. Oleh karena itu, ungkapan ‘Banyak anak banyak rezeki’ sangat cocok pada waktu itu untuk masyarakat india, sehingga sampai sekarang ungkapan tersebut masih digunakan oleh pribumi dan cina.

  3. Pakaian; dari segi pakaian ini mungkin banyak terdapat pencampuran antara budaya pribumi dengan india, dan orang india dengan pakaian khasnya, yaitu kain sari banyak juga di gunakan oleh orang pribumi sebagai bahan untuk menjahit pakaian, begitu juga dengan orang tamil sendiri, pakaian juga merupakan campuran kebudayaan yang sangat lekat diantara masyarakat pribumi dan India tamil.

  4. Rumah; di zaman dulu, rumah orang india mempunyai ciri khas tersendiri mengenai rumah, dengan adanya kuil kecil untuk sembahyang dan halaman yang lebar. Dengan perubahan zaman dan makin sempit serta mahalnya lahan, maka konsep rumah yang mempunyai halaman luas tidak dapat digunakan lagi di tengah kota kecuali mereka yang mempunyai tanah yang cukup untuk membuat halaman yang lebar. Orang India tamil sekarang ini banyak terpengaruh oleh rumah toko dikarenakan mempunyai dwi fungsi selain untuk berdagang juga digunakan sebagai tempat tinggal, sehingga dapat memanfaatkan ruang yang ada.

  5. Makanan; orang india tamil banyak mempengaruhi masyarakat pribumi pada makanan. Hali ini dapat dilihat dari beberapa makanan khas India yang di gunakan juga oleh pribumi. Salah satu contoh, makanan khas India adalah kari, roti cane, martabak serta kue-kue.
    Perilaku; pada zaman dulu orang tamil tidak boleh bercampur antara pria dan wanita dalam keadaan apapun kecuali suami istri. Sekarang untuk acara yang biasa sudah diperbolehkan untuk bertemu dengan lawan jenis. Kecuali pada acara-acara perkawinan dan kebudayaan yang masih sampai sekarang masih terdapatnya pemisahan tempat duduk antara pria dan wanita.

  6. Pemberian nama; zaman dulu orang india tamil memberi nama pada setiap anak mereka dengan nama-nama dewa. Hal ini dilakukan untuk menolong orang tuanya jikalau orang tuanya mau meninggal, maka ia dengan mudah dapat mengingat nama-nama dewa dengan hanya memanggil nama anak mereka. Tetapi sekarang pemberian nama tersebut sudah jarang digunakan.

Di kawasan kampung keling saat ini terjadi pembauran dan terdapat tiga golongan besar penduduk, yaitu pribumi, tionghoa dan india (tamil). Namun, tidak terjadi kesenjangan sosial diantara ketiga kelompok masyarakat tersebut, dan juga tidak ada pengelompokan-pengelompokan yang menjadi pemisah diantaranya. Seluruh masyarakat berbaur dan berkomunikasi membentuk komunitas. Agama yang berbeda juga tidak menjadi penghalang bagi masyarakat. Masing-masing dari mereka sangat menghormati kebebasan beragama.
Bagi masyarakat india tamil yang tinggal di lingkungan ini, walaupun telah berbaur dengan masyarakat pribumi dan Tionghoa, mereka tetap mempertahankan identitas dan eksistensi dari mereka. Hal ini terlihat jelas apabila kita masuk dan berjalan ke lingkungan in, maka kita akan mendengar musik-musik berbahasa india, sehingga nuansa India di daerah ini lumayan kental. Terlebih lagi apabila terdapat acara-acara besar, maka masyarakat india tamil ini akan mengadakannya secara besar-besaran.
Bagi mereka yang beragama hindu, setiap Jum’at sore mereka akan berkumpul di Kuil Shri Maryaman untuk melakukan sembahyang bersama. Kuil ini merupakan salah satu wadah bagi masyarakat tamil untuk saling berinteraksi dan berkumpul dengan sesama mereka yang tidak bermukim di daerah lingkungan kampung Keling.
Kesimpulan
Kampung Keling saat ini mulai tergeser dengan kehidupan kota Medan yang menuju Kota Metropolitan. Kehadiran masyarakat India di Indonesia umumnya dan kota Medan pada khususnya memiliki arti dan nilai tersendiri. Kekayaan budaya yang mereka miliki secara tidak langsung sudah memperkaya khasanah budaya Indonesia melalui proses pembauran. Budaya yang berkembang saat ini dipengaruhi oleh latar belakang asal komunitas yaitu India tamil yang sampai saat ini masih tetap dipergunakan walaupun sudah mengalami akulturasi.
Dari pembauran ini terjadi percampuran budaya dan perilaku yang saling mempengaruhi satu sama lain. Namun pembauran ini tidak berarti mereka yang sudah turun temurun tinggal dan menetap di Medan menghilangkan dan tidak mempertahankan adat istiadat dan budanyanya.
Kampung Keling sebagai kampung kota telah berperan dalam manghadirkan budaya India dengan tatanan kampung yang seperti layaknya kampung kota yang padat namun masih memberikan nilai histories latar belakang kampung yaitu dengan penggunaan symbol-simbol India tamil yang dipasang di depan rumah, juga penghargaan terhadap kuil yang kemudian direplika dengan adanya kuil-kuil kecil di tiap rumah dan tempat sembayang di dalam rumah. Penataan symbol yang mempunyai keteraturan merupakan salah satu warisan dalam penataan ruang dalam rumah.
Kampung Keling sebagai kampung kota tetap mampu menghadirkan kenangan masa lalu bagi masyarakat yang bisa dijadikan aset dalam pengembangan kawasan.

Daftar Pustaka
Lukman, T.S. 1970, “Sari dan Sedjarah Serdang”, Medan
Lukman, T.S. 1996, “Sejarah Medan Tempo Doeloe”, Medan
Sandhu dan Mani, 1993. “Indian Communities In Southest Asia” Times Academic Press, Singapura
i Paper ini merupakan hasil dari mata kuliah Pilihan Psikologi Lingkungan di PS Arsitektur USU
ii Wahyu Utami,ST,MT, Staf Pengajar Arsitektur USU Medan, Mata Kuliah Pilihan Psikologi Lingkungan
iii A Sari AD, dan Yussy L, Mahasiswa Mata Kuliah Pilihan Psikologi Lingkungan Program Studi Arsitektur USU Medan

1 komentar:

Anonim mengatakan...

selamat siang .
saya gunawan dari spin production mau tanya letak kampung keling itu di mana ya dari medan ? karna perusahaan saya sedang mencari kampung-kampung unik di indonesia untuk di jadikan dokumenter